Tuesday 19 February 2013

PEMIKIRAN EKONOMI MUHAMMAD BIN HASAN ASY-SYAIBANI


PEMIKIRAN EKONOMI
MUHAMMAD BIN HASAN ASY-SYAIBANI
(132-189 H)


A.     Karya-karya
Dalam menuliskan pokok-pokok pemikiran fiqihnya, asy-Syaibani menggunakan istihsan sebagai metode ijtihadnya. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua golong
an, yaitu:
1.      Zhahir al-Riwayah, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan Abu Hanifah, seperti al-Mabsut, al-Jami’al Kabir, al-Jami’al Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Shaghir, dan al-Ziyadat. Kesemuanya itu dihimpun Abi Al-Fadhl Muhammad ibn Ahmad Al-Maruzi dalam satu kitab yang berjudul al-Kafi.
2.      Al-Nawadir, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pandangannya sendiri, seperti Amali Muhammad fi al-Fiqh, al-Ruqayyat, al-Makharij fi al-Hiyal, al-Radd’ala Ahl Madinah, al-Ziyadah, al-Atsar, dan al-Kasb.

B.     Pemikiran Ekonomi
  1. Al- Kasb ( Kerja )
Dalam kitab Al-Kasb ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-kasb sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas tersebut termasuk dalam aktivitas produksi. Yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional.
Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa disebut dengan aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat erat kaitannya dengan halal-haramnya suatu barang dan jasa berikut cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas memproduksi barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut dengan aktivitas produksi.
Dalam ilmu ekonomi, memproduksi barang dan jasa dilakukan karena barang dan jasa tersebut memiliki nilai-guna (utilitas). Menurut pandangan Islam dikatakan bahwa suatu barang dan jasa memiliki nilai guna jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, maka kemaslahatan akan dapat dicapai. Dengan demikian, seorang muslim termotivasi untuk memproduksi barang ataupun jasa yang memiliki maslahat tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahat merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syariah, yaitu memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Pandangan Islam tersebut jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang dan jasa memiliki nilai-guna selama masih ada yang menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional nilai-guna suatu barang dan jasa ditentukan oleh keinginan orang per orang dan bersifat subjektif. Aktivitas produksi dalam pandangan Islam merupakan bagian dari kewajiban ‘imaratul kaun yaitu menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk.
Berkaitan dengan hal tersebut, Imam asy-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah Swt dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil berikut:
1.      Firman Allah Swt, QS. Al-Jumu’ah: 10,
“ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
2.      Hadits Rasulullah Saw,
“ Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.”
3.      Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab r. a. lebih mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayyidina Umar menyatakan, dirinya lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian karunia Allah Swt di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena Allah Swt mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya daripada para mujahidin melalui firman-Nya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah….”( QS. Al-Muzammil: 20)

Imam asy-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka. Dalam pandangan Imam asy-Syaibani, orientasi bekerja adalah hidup untuk mencapai keridhaan Allah Swt. Kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi, dan distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kerja memiliki peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah Swt, hak hidup, hak keluarga dan hak masyarakat.

  1. Kekayaan dan Kefakiran
Menurutnya, sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi papa dan meminta-minta (kafafah). Pada dasarnya Imam asy-syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan itu digunakan untuk kebaikan.

  1. Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
Imam asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi empat macam yaitu sewa menyewa (ijarah), perdagangan (tijarah), pertanian (zaira’ah) dan perindustrian (sina’ah). Sedangkan ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian dan jasa. Diantara empat usaha perekonomian tersebut, Imam asy-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian daripada yang lainnya. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya.
Dari segi hukum, Imam asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua yaitu fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardhu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda ekonomi akan terus berjalan. Sebaliknya, jika tidak ada seorangpun yang menjalankannya, tatanan roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan.
Berbagai usaha perekonomian dihukum fardhu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidak akan terpenuhi, begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga akan menimbulkan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.

  1. Kebutuhan-Kebutuhan Ekonomi
Imam asy-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom mengatakan bahwa keempat hal tersebut adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal itu tidak terpenuhi, maka akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.

  1. Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Imam asy-syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan  semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya. Dan kalaupun manusia berusaha keras, usia akan membatasinya. Dalam hal ini, kemaslahatan hidup manusia sangat tergantung padanya. Oleh karena itu, Allah Swt memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Firman Allah Swt:
”….Dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat….” (QS. Az-Zukhruf: 32)
Imam asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang fakir membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah menjalankan aktivitas ibadah kepada-Nya. Dalam konteks demikian, Allah Swt berfirman:
“….Dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan….” (QS. Al-Maidah: 2)
Rasulullah Saw bersabda :
“ Sesungguhnya Allah Swt selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimnya.”
Imam asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, pekerjaannya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian distribusi pekerjaan seperti diatas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.

No comments:

Post a Comment