Monday 18 February 2013

SAMSARAH (MAKELAR)




SAMSARAH (MAKELAR)
Resume ini dibuat untuk memenuhi matakuliah (masa’il fiqih mu’amalah)

Dosen Pengampu :
AJAT SUDRAJAT

Dibuat oleh :
    DIANA AULIA PUTRI

FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDY MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
FEBRUARI/2013

A.      Pengertian
Makelar yang dalam bahasa arab samsarah adalah perantara perdgangan (orang yang menarikan barang atau mencarikan pembeli) atau per
antara antara penjual (ba’i) dan pembeli (mustari) untuk memudahkan jual beli. Kehadiran makelar ditengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat modern sangat dibutuhkan untuk memudahkan dunia bisnis. (dalam perdagangan, pertanian, perkebunn, industri dan lain-lain). Sebab tidak sedikit orang yang tidak pandai tawar menawar, tidak tahu cara menjual atau membeil barang yang diperlukan. Atau tidak ada waktu untuk mencari atau berhubungan langsung dengan pembeli atau penjual.
Samsarah terdapat dua macam yaitu perantara sesama warga perkotaan, dimana hukumnya adalah boleh dan upah pelakunya halal. Yang keduanya adalah orang kota bertindak sebagai perantara orang desa dalam menjual barangnya, yang ini diharamkan.
Jelaslah bahwa makelar merupakan propesi yang banyak manfaatnya untuk mayarakat, terutama bagi para produksen konsumen dan bagi makelar sendiri. Profesi ini dibutuhkan dalam masyarakat sebagaimana profesi-profesi yang lain.
Dalam sarahnya, Badri (2008:90) menyatakan bahwa rasulullah melarang perbuatan ini karena akan merugikan masyarakat banyak, sebab pedagang yang kota yang menghadang barang niaga orang-orang kampung, dikuatirkan pedagang tersebut akan menjual dengan harga sangat mahaldi pasar atau di kota
Pekerjaan samsarah/simsar berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang dengan imbalan. Pada dasarnya, para ulama seperti Ibnu ‘Abbas, Imam Bukhari, Ibnu Sirin, ‘Atha, Ibrahim, memandang boleh jasa ini. (Fiqh As-Sunnah, III/159). Landasan syara mengenai ijarah adalah berdasarkan Al Quran, As Sunnah dan ijma para ulama.

Menurut mahmud saltut tidak jauh berbeda dengan definisi diatas yaitu;

 المسترة هي التوسط بين البا ئع والمستري التسهيل البيع

“makelar (samsarah) adalah perantara (penengah) antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.”


Surat Al-A'raf : 85
وا لى مد ين اخا هم ثعيبا قلى قا ل يقوم ا عبد وا ا لله ما لكم من ا له غيره صل قد جا ء تكم بينة من ربكم صل فاوفوا ا لكيل وا لميزا ن ولا تبخسوا ا لنا س ا شيا ء هم ولا تفسد وا فى الارض بعد ا صلحها ج ذ لكم ان كنتم مومنين
Artinya:

"Dan (Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan[552] saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
Dan sesuai hadist Nabi :
ا عظو الا جير اجره قبل ا ن يجف عر ق
Artinya:
" Dari Ibnu umar bahwa Rasulullah bersabda , " Berikanlah upah pekerja   sebelum keringatnya kering. " ( HR.Ibnu Majah )

Hadist tersebut menjelaskan bahwa jangan pernah menunda-nunda upah para pekerja, apabila mereka telah melakukan pekerjaan maka bayarlah upah atau jerih payah mereka pada waktunya karena Allah paling benci bagi orang yang menunda-nunda upah pekerja.
Bila terdapat unsur kezaliman (dzulm) dalam pemenuhan hak dan kewajiban, seperti seseorang yang belum menyelesaikan pekerjaannya dalam batas waktu tertentu maka ia tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan kerja yang telah dilakukan. Praktik samsarah seperti ini tidak benar, karena sekalipun pekerjaan tersebut tidak diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan setidaknya para penyewa jasa tersebut menghargai jerih payah yang dilakukan oleh pekerja tersebut yaitu dengan membayar setengah dari total upah pekerja.




B.       Rukun dan Syarat Samsarah
Untuk sahnya aqad samsarah harus memenuhi beberapa rukun yaitu :
1.      Al-Muta'aqidani (makelar dan pemilik harta)
Untuk melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada makelar (penengah) dan pemilik harta supaya kerja sama tersebut berjalan lancar.
2.     Mahall al-ta'aqud (jenis transaksi yang dilakukan dan kompensasi)
Jenis transaksi yang dilakukan harus diketahui dan bukan barang yang mengandung maksiat dan haram, dan juga nilai kompensasi (upah) harus diketahui terlebih dahulu supaya tidak terjadi salah paham.
3.      Al-shigat (lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi
pemakelaran tersebut.
Supaya kerja sama tersebut sah maka, kedua belah pihak tersebut harus membuat sebuah aqad kerja sama (perjanjian) yang memuat hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam bentuk transaksi dengan kompensasi upah 'aqdu ijaroh atau dengan komisi aqdu ji'alah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat umum 'aqad atau transaksi menurut aturan fikih Islam. Syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan al-shigat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun syarat-syarat mengenai mahall al-ta'aqud (objek transaksi dan kompensasi), para ulama mensyaratkan objek transaksi yang legal (masyru) dan kompensasi yang telah ditentukan (ma'lum).
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa syarat samsarah (pemakelaran) adalah syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan shigat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun hikmah adanya samsarah adalah dimana manusia itu saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya. Banyak orang yang tidak mengerti cara membeli atau menjual barang mereka. Maka dalam keadaan demikian, diperlukan bantuan orang lain yang berprofesi selaku samsarah yang mengerti betul dalam hal penjualan dan pembelian barang dengan syarat mereka akan memberi upah atau komisi kepada makelar tersebut.             
Seperti yang telah di uraikan di atas, jelaslah bahwa samsarah itu merupakan suatu perantara perdangagan antara penjual dan pembeli. Pihak samsarah berhak mendapat upah (gaji) dan berkewajiban bekerja semaksimal mungkin sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dalam pemenuhan hak baik dari pihak samsarah sendiri maupun dari pihak perusahaan. Kewajiban pihak perusahaan adalah membayar upah para pekerja (simsar) dimana mereka telah bekerja untuk perusahaan dengan semaksimal mungkin. Kegunaan adanya samsarah adalah untuk mencegah adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Jumlah upah atau imbalan jasa juga harus dimengerti betul oleh orang yang memakai jasa tersebut, jangan hanya semena-mena dalam pemenuhan hak dan kewajiban, pihak pemakai jasa harus memberikan kepada makelar yaitu menurut perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak untuk mencegah kekeliruan atau kezaliman dalam pemenuhan hak dan kewajiban di antara mereka.

C.      Bentuk - Bentuk Kerja Sama dalam Aqad Samsarah

Pada zaman modern ini, pengertian perantara sudah lebih luas, termasuk jasa pengacara, jasa konsultan, tidak hanya mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja. Bentuk kerja sama dalam aqad samsarah itu ada dua,  yaitu bentuk kerja sama yang menjual barang dan bentuk kerja sama yang menjual jasa, atau sama dengan ijarah.
Bentuk kerja sama yang menjual barang atau benda disebut ijarat al-ain atau sewa menyewa, seperti menyewa rumah untuk ditempati oleh pihak yang menyewa. Sedangkan bentuk kerja sama yang menjual jasa orang disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian atau upah pengacara atau upah para pekerja di perusahaan-perusahaan swasta. 
Dengan demikian tidak akan terjadi kemungkinan adanya penipuan dan memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan haram. Apabila barang yang nilainya tinggi, sebaiknya sudah ditetapkan uang imbalanya dan ketentuan-ketetuan lainnya. Jika kesepakatan itu sudah ditandatangani, maka semua pihak harus menepati , tidak boleh mungkir janji,



Sebagaimana firman Allah :
يا يها ا لذ ين اوفوا ءا منوا با لعقد ...
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ..(Qs al-Maidah: 1)
Telah berfirman  :
ج وا وفوا با لعهد كا ن مسولا ....

Artinya:
 ... dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabanya ( Qs al- isra : 34 )

Akad (perjanjian) yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah janji hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Janji itu ada yang tertulis dan ada pula yang hanya dengan lisan saja dan bahkan ada yang berpegang kepada adat-istiadat semata-mata. Hal itu semua dipandang sebagai janji dan tidak boleh dipungkiri, sekiranya terjadi pelanggaran, akan mendapat ancaman hukuman yang berat di akhirat kelak.
Adapun praktek pemakelaran, secara umum, hukumnya boleh, berdasarkan hadist Qays bin

Abi Ghurzah al-Kinani :

خرج علينارسول الله صلم علئ-  ونحن نسمى السماسرة - فقال: يامعشرالتجار: إن الشيطان والاشم يحضران البيع, فشو بوابيعكم بالصد قة.
Artinya:
" Suatu ketika, Rasulullah SAW Menemui kami – saat itu kami, para pedagang biasa di panggil As-Samsirah (para makelar),- lalu beliau berseru, " Wahai Tujjar (para pedagang), sesungguhnya syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli, campurlah sedekah dalam jual-beli kalian,: (Shahih: Ibnu Majah).
Maksud dari hadits di atas adalah dimana syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli, maka dari itu bersihkanlah jual beli kalian dengan bersedekah supaya jual beli yang para pedagang lakukan tidak mengandung maksiat dan haram.
Ulama' Mazhab Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Muthalli, telah menyatakan definisi makelar, yang dalam istilah fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyatakan: “Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah 'ala samsarah tidak diperbolehkan.
Maksud dari uraian di atas adalah dimana kedudukan seorang makelar adalah sebagai orang tengah, dan apabila seorang makelar memakelari makelar atau dalam istilah lain samsarah ala' samsarah yaitu makelar menjual tiket kepada sesama makelar maka gugurlah kedudukannya sebagai orang tengah.

D.      Pembagian Keuntungan dan Pertanggungan Resiko
Upah makelar menurut undang-undang disebut provisi; dalam praktek hal ini disebut courtage.17 Untuk menghindari jangan terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka barang-barang yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Supaya tidak timbul salah paham, begitu juga dengan imbalan jasa dan pembagian keuntungan harus di tetapkan lebih dahulu, apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya, kalau nilainya besar ditandatangi perjanjian di hadapan notaris.
Dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan (adat-istiadat), bahwa imbalannya tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya yaitu 2,5 % dari nilai transaksi. Ada juga yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli.

Kebiasaan semacam ini pun dapat dibenarkan oleh syariat, sesuai kaidah hukum Islam.                                                                                                            
  العا دة محكمة
            " Adat kebiasaan itu, diakui sebagai sumber hukum."
Supaya tidak terjadi salah paham, maka pemilik barang dan samsarah dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah. Boleh mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari harga yang di tentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Islam menyukai perdamaian, jadi supaya tidak ada yang berselisih paham maka dari itu Islam menganjurkan untuk membuat sebuah perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis supaya kerja sama yang mereka lakukan akan bermanfaat dan memperoleh keuntungan.
Sebagai landasan hukumnya ialah sabda Rasulullah saw. :

أ لصلع جا ئز بين المسلمين , إلا صلحا حرم حلأ لا, أؤأحل حراما, والمسلمون علئ شروطهم, إلآشر طاحرم خلألآ, أوأحل حراما
Artinya:
" Perdamaian antara kaum muslimin boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat yang mereka tetapkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (Shahih Sunan Tarmidzi)

Maksud dari hadist di atas adalah kerja sama antara sesama muslim itu halal kecuali kerja sama yang haram tapi di halalkan , seperti menjual minuman keras dan narkotika, maka dari itu mereka harus berpegang kepada syarat-syarat yang telah di tentukan di atas salah satunya obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram.
Dalam sebuah kerja sama juga harus diantisipasi kemungkinan barang rusak atau pailit. Kedua pihak harus menentukan siapa yang bertanggung jawab dari kerusakan dan pailit tersebut. Demikian juga terhadap segala resiko lain yang mungkin terjadi.
Menurut Subekti, kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian kalau diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.20 Sedangkan menurut pendapat lainnya, resiko ialah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa, yaitu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, yang menimpa benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi. Dengan demikian, persoalan resiko ini adalah buntut dari suatu keadaan memaksa. Pengaturan resiko dalam KUHPerdata adalah :

a)        Menurut Pasal 1237 KUHPerdata, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalain, kebendaan adalah atas tanggungannya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian yang sepihak, seperti : perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam-pakai.
b)        Menurut Pasal 1460 KHUPerdata, jika kebendaan yang dipikul itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian jual-beli.
c)        Menurut Pasal 1545 KUHPerdata, jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa yang pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian tukar-menukar.
d)       Menurut Pasal 1553 ayat (1) KUHPerdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian sewa-menyewa.

Jadi makelar (samsarah) adalah hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain bahwa makelar (simsar) ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli. Makelar yang terpecaya tidak di tuntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak sengaja dan tidak akan merugikan sebelah pihak.
















CATATAN AKHIR:

Ajat Sudrajat, Fikih Aktual (Membahas Problematika Hukum Islam Kontemporer), STAIN Ponorogo Press, Ponorogo 2008.

No comments:

Post a Comment