SAMSARAH (MAKELAR)
Resume ini dibuat untuk memenuhi matakuliah (masa’il fiqih
mu’amalah)
Dosen Pengampu :
AJAT SUDRAJAT
Dibuat oleh :
DIANA AULIA PUTRI
FAKULTAS
SYARI’AH
PROGRAM STUDY
MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
FEBRUARI/2013
A.
Pengertian
Makelar yang dalam bahasa arab samsarah adalah perantara perdgangan
(orang yang menarikan barang atau mencarikan pembeli) atau per
antara antara
penjual (ba’i) dan pembeli (mustari) untuk memudahkan jual beli. Kehadiran
makelar ditengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat modern sangat
dibutuhkan untuk memudahkan dunia bisnis. (dalam perdagangan, pertanian,
perkebunn, industri dan lain-lain). Sebab tidak sedikit orang yang tidak pandai
tawar menawar, tidak tahu cara menjual atau membeil barang yang diperlukan.
Atau tidak ada waktu untuk mencari atau berhubungan langsung dengan pembeli
atau penjual.
Samsarah terdapat dua macam yaitu perantara sesama warga perkotaan,
dimana hukumnya adalah boleh dan upah pelakunya halal. Yang keduanya adalah
orang kota bertindak sebagai perantara orang desa dalam menjual barangnya, yang
ini diharamkan.
Jelaslah bahwa makelar merupakan propesi yang banyak manfaatnya
untuk mayarakat, terutama bagi para produksen konsumen dan bagi makelar
sendiri. Profesi ini dibutuhkan dalam masyarakat sebagaimana profesi-profesi
yang lain.
Dalam sarahnya, Badri (2008:90) menyatakan bahwa rasulullah
melarang perbuatan ini karena akan merugikan masyarakat banyak, sebab pedagang
yang kota yang menghadang barang niaga orang-orang kampung, dikuatirkan
pedagang tersebut akan menjual dengan harga sangat mahaldi pasar atau di kota
Pekerjaan samsarah/simsar berupa makelar, distributor, agen dan
sebagainya dalam fiqih Islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi
memanfaatkan jasa orang dengan imbalan. Pada dasarnya, para ulama seperti Ibnu
‘Abbas, Imam Bukhari, Ibnu Sirin, ‘Atha, Ibrahim, memandang boleh jasa ini.
(Fiqh As-Sunnah, III/159). Landasan syara mengenai ijarah adalah berdasarkan Al
Quran, As Sunnah dan ijma para ulama.
Menurut mahmud saltut tidak jauh berbeda dengan definisi diatas
yaitu;
المسترة هي التوسط بين البا ئع والمستري التسهيل البيع
“makelar (samsarah) adalah perantara (penengah) antara penjual dan
pembeli untuk memudahkan jual beli.”
Surat Al-A'raf : 85
وا لى مد ين اخا هم ثعيبا قلى قا ل يقوم ا
عبد وا ا لله ما لكم من ا له غيره صل قد جا ء تكم بينة من ربكم صل
فاوفوا ا لكيل وا لميزا ن ولا تبخسوا ا لنا س ا شيا ء هم ولا تفسد وا فى
الارض بعد ا صلحها ج ذ لكم ان كنتم مومنين
Artinya:
"Dan
(Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan[552] saudara mereka, Syu'aib. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi
manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih
baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
Dan
sesuai hadist Nabi :
ا عظو
الا جير اجره قبل ا ن يجف عر ق
Artinya:
"
Dari Ibnu umar bahwa Rasulullah bersabda , " Berikanlah upah
pekerja sebelum keringatnya kering. " ( HR.Ibnu Majah )
Hadist
tersebut menjelaskan bahwa jangan pernah menunda-nunda upah para pekerja,
apabila mereka telah melakukan pekerjaan maka bayarlah upah atau jerih payah
mereka pada waktunya karena Allah paling benci bagi orang yang menunda-nunda
upah pekerja.
Bila terdapat unsur kezaliman (dzulm) dalam pemenuhan hak dan
kewajiban, seperti seseorang yang belum menyelesaikan pekerjaannya dalam batas
waktu tertentu maka ia tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan kerja yang
telah dilakukan. Praktik samsarah seperti ini tidak benar, karena sekalipun pekerjaan
tersebut tidak diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan setidaknya para
penyewa jasa tersebut menghargai jerih payah yang dilakukan oleh pekerja
tersebut yaitu dengan membayar setengah dari total upah pekerja.
B.
Rukun dan Syarat Samsarah
Untuk sahnya aqad samsarah
harus memenuhi beberapa rukun yaitu :
1. Al-Muta'aqidani
(makelar dan pemilik harta)
Untuk melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada makelar (penengah)
dan pemilik harta supaya kerja sama tersebut berjalan lancar.
2. Mahall al-ta'aqud (jenis
transaksi yang dilakukan dan kompensasi)
Jenis transaksi yang dilakukan harus diketahui dan bukan barang yang
mengandung maksiat dan haram, dan juga nilai kompensasi (upah) harus diketahui
terlebih dahulu supaya tidak terjadi salah paham.
3. Al-shigat
(lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi
pemakelaran tersebut.
Supaya kerja sama tersebut sah maka, kedua belah pihak tersebut harus
membuat sebuah aqad kerja sama (perjanjian) yang memuat hak-hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam
bentuk transaksi dengan kompensasi upah 'aqdu ijaroh atau dengan komisi aqdu
ji'alah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat
umum 'aqad atau transaksi menurut aturan fikih Islam. Syarat-syarat umum
transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan al-shigat.
Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyiz tanpa al-aqlu wal
bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya
sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun
syarat-syarat mengenai mahall al-ta'aqud (objek transaksi dan kompensasi), para
ulama mensyaratkan objek transaksi yang legal (masyru) dan kompensasi yang
telah ditentukan (ma'lum).
Dari penjelasan
diatas bisa kita simpulkan bahwa syarat samsarah (pemakelaran) adalah
syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan
pembeli) dan shigat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat tamyiz
tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab
seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas
transaksi.
Adapun hikmah
adanya samsarah adalah dimana manusia itu saling membutuhkan satu sama
lain dalam mengisi kehidupannya. Banyak orang yang tidak mengerti cara membeli
atau menjual barang mereka. Maka dalam keadaan demikian, diperlukan bantuan
orang lain yang berprofesi selaku samsarah yang mengerti betul dalam hal
penjualan dan pembelian barang dengan syarat mereka akan memberi upah atau
komisi kepada makelar tersebut.
Seperti yang
telah di uraikan di atas, jelaslah bahwa samsarah itu merupakan suatu
perantara perdangagan antara penjual dan pembeli. Pihak samsarah berhak
mendapat upah (gaji) dan berkewajiban bekerja semaksimal mungkin sehingga tidak
ada yang merasa dirugikan dalam pemenuhan hak baik dari pihak samsarah
sendiri maupun dari pihak perusahaan. Kewajiban pihak perusahaan adalah
membayar upah para pekerja (simsar) dimana mereka telah bekerja untuk
perusahaan dengan semaksimal mungkin. Kegunaan adanya samsarah adalah
untuk mencegah adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Jumlah upah
atau imbalan jasa juga harus dimengerti betul oleh orang yang memakai jasa
tersebut, jangan hanya semena-mena dalam pemenuhan hak dan kewajiban, pihak
pemakai jasa harus memberikan kepada makelar yaitu menurut perjanjian yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak untuk mencegah kekeliruan atau
kezaliman dalam pemenuhan hak dan kewajiban di antara mereka.
C.
Bentuk - Bentuk Kerja Sama dalam Aqad Samsarah
Pada zaman modern ini, pengertian perantara sudah lebih luas,
termasuk jasa pengacara, jasa konsultan, tidak hanya mempertemukan orang yang
menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang
dicari dan menjualkan barang saja. Bentuk kerja sama dalam aqad samsarah itu
ada dua, yaitu bentuk kerja sama yang
menjual barang dan bentuk kerja sama yang menjual jasa, atau sama dengan
ijarah.
Bentuk kerja sama yang menjual barang atau benda disebut ijarat
al-ain atau sewa menyewa, seperti menyewa rumah untuk ditempati oleh pihak yang
menyewa. Sedangkan bentuk kerja sama yang menjual jasa orang disebut ijarat
al-zimmah atau upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian atau upah pengacara
atau upah para pekerja di perusahaan-perusahaan swasta.
Dengan demikian tidak akan terjadi kemungkinan adanya penipuan dan
memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan haram. Apabila barang yang
nilainya tinggi, sebaiknya sudah ditetapkan uang imbalanya dan
ketentuan-ketetuan lainnya. Jika kesepakatan itu sudah ditandatangani, maka
semua pihak harus menepati , tidak boleh mungkir janji,
Sebagaimana firman Allah :
يا يها ا لذ ين اوفوا ءا منوا با لعقد
...
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ..(Qs
al-Maidah: 1)
Telah berfirman :
ج وا وفوا با لعهد كا ن مسولا
....
Artinya:
... dan penuhilah janji;
Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabanya ( Qs al- isra : 34
)
Akad (perjanjian) yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah janji
hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan
sesamanya. Janji itu ada yang tertulis dan ada pula yang hanya dengan lisan
saja dan bahkan ada yang berpegang kepada adat-istiadat semata-mata. Hal itu
semua dipandang sebagai janji dan tidak boleh dipungkiri, sekiranya terjadi
pelanggaran, akan mendapat ancaman hukuman yang berat di akhirat kelak.
Adapun praktek pemakelaran, secara umum, hukumnya boleh,
berdasarkan hadist Qays bin
Abi Ghurzah al-Kinani :
خرج علينارسول الله صلم علئ- ونحن نسمى السماسرة - فقال: يامعشرالتجار: إن الشيطان
والاشم يحضران البيع, فشو بوابيعكم بالصد قة.
Artinya:
" Suatu ketika, Rasulullah SAW Menemui kami – saat itu
kami, para pedagang biasa di panggil As-Samsirah (para makelar),- lalu beliau
berseru, " Wahai Tujjar (para pedagang), sesungguhnya syetan dan dosa
selalu menghadiri jual-beli, campurlah sedekah dalam jual-beli kalian,:
(Shahih: Ibnu Majah).
Maksud dari hadits di atas adalah dimana syetan dan dosa selalu
menghadiri jual-beli, maka dari itu bersihkanlah jual beli kalian dengan
bersedekah supaya jual beli yang para pedagang lakukan tidak mengandung maksiat
dan haram.
Ulama' Mazhab Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya,
al-Muthalli, telah menyatakan definisi makelar, yang dalam istilah fiqih
dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyatakan: “Dari
batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan bahwa pemakelaran
itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai
pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang
lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah 'ala samsarah tidak
diperbolehkan.
Maksud dari uraian di atas adalah dimana kedudukan seorang makelar
adalah sebagai orang tengah, dan apabila seorang makelar memakelari makelar
atau dalam istilah lain samsarah ala' samsarah yaitu makelar menjual tiket
kepada sesama makelar maka gugurlah kedudukannya sebagai orang tengah.
D.
Pembagian Keuntungan dan Pertanggungan Resiko
Upah makelar menurut undang-undang disebut provisi; dalam praktek
hal ini disebut courtage.17 Untuk menghindari jangan terjadi hal-hal yang tidak
diingini, maka barang-barang yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas.
Supaya tidak timbul salah paham, begitu juga dengan imbalan jasa dan pembagian
keuntungan harus di tetapkan lebih dahulu, apalagi nilainya dalam jumlah yang
besar. Biasanya, kalau nilainya besar ditandatangi perjanjian di hadapan
notaris.
Dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan (adat-istiadat), bahwa
imbalannya tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya yaitu 2,5 %
dari nilai transaksi. Ada juga yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari
pembeli.
Kebiasaan semacam ini pun dapat dibenarkan oleh syariat, sesuai
kaidah hukum Islam.
العا دة محكمة
" Adat
kebiasaan itu, diakui sebagai sumber hukum."
Supaya tidak terjadi salah paham, maka pemilik barang dan samsarah
dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh
pihak samsarah. Boleh mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil
kelebihan dari harga yang di tentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung
kesepakatan kedua belah pihak.
Islam menyukai perdamaian, jadi supaya tidak ada yang berselisih
paham maka dari itu Islam menganjurkan untuk membuat sebuah perjanjian baik
tertulis ataupun tidak tertulis supaya kerja sama yang mereka lakukan akan
bermanfaat dan memperoleh keuntungan.
Sebagai landasan hukumnya ialah sabda Rasulullah saw. :
أ لصلع جا ئز بين المسلمين , إلا صلحا
حرم حلأ لا, أؤأحل حراما, والمسلمون علئ شروطهم, إلآشر طاحرم خلألآ, أوأحل حراما
Artinya:
" Perdamaian antara kaum muslimin boleh, kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus
melaksanakan syarat yang mereka tetapkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram." (Shahih Sunan Tarmidzi)
Maksud dari hadist di atas adalah kerja sama antara sesama muslim
itu halal kecuali kerja sama yang haram tapi di halalkan , seperti menjual
minuman keras dan narkotika, maka dari itu mereka harus berpegang kepada
syarat-syarat yang telah di tentukan di atas salah satunya obyek akad bukan
hal-hal yang maksiat atau haram.
Dalam sebuah kerja sama juga harus diantisipasi kemungkinan barang
rusak atau pailit. Kedua pihak harus menentukan siapa yang bertanggung jawab
dari kerusakan dan pailit tersebut. Demikian juga terhadap segala resiko lain
yang mungkin terjadi.
Menurut Subekti, kata resiko berarti kewajiban untuk memikul
kerugian kalau diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang
dimaksudkan dalam perjanjian.20 Sedangkan menurut pendapat lainnya, resiko
ialah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa, yaitu
peristiwa bukan karena kesalahan debitur, yang menimpa benda yang menjadi obyek
perikatan atau menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi. Dengan
demikian, persoalan resiko ini adalah buntut dari suatu keadaan memaksa.
Pengaturan resiko dalam KUHPerdata adalah :
a)
Menurut
Pasal 1237 KUHPerdata, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas
tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan menyerahkannya, maka
semenjak saat kelalain, kebendaan adalah atas tanggungannya. Pasal ini mengatur
mengenai resiko dalam perjanjian yang sepihak, seperti : perjanjian penghibahan
dan perjanjian pinjam-pakai.
b)
Menurut
Pasal 1460 KHUPerdata, jika kebendaan yang dipikul itu berupa suatu barang yang
sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan
si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak
menuntut harganya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian
jual-beli.
c)
Menurut
Pasal 1545 KUHPerdata, jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk
ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai
gugur, dan siapa yang pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut
kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar. Pasal ini mengatur
mengenai resiko dalam perjanjian tukar-menukar.
d)
Menurut
Pasal 1553 ayat (1) KUHPerdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan
sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian
sewa gugur demi hukum. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian
sewa-menyewa.
Jadi makelar (samsarah) adalah hanya berfungsi menjualkan barang
orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain
bahwa makelar (simsar) ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk
memudahkan jual-beli. Makelar yang terpecaya tidak di tuntut resiko sehubungan
dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak sengaja dan tidak akan
merugikan sebelah pihak.
CATATAN AKHIR:
Ajat Sudrajat, Fikih
Aktual (Membahas Problematika Hukum Islam Kontemporer), STAIN Ponorogo
Press, Ponorogo 2008.
No comments:
Post a Comment